Tag Archives: jurnalis

Apakah pembunuhan massal 1965 butuh media konvensional?

2

Perlu ditegaskan lebih dulu bahwa saya tidak melakukan penelitian atas media di Indonesia atau melakukan analisis isi yang sistematis, namun lebih merupakan pengalaman pribadi sebagai wartawan sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang, sebagai ‘orang yang suka mengeluh’ setiap menggunakan media internet Indonesia.

Perkenankanlah untuk memulainya dari pertengahan 1980-an ketika saya bekerja di Majalah Mingguan Tempo, salah satu dari sedikit media yang mandiri di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, yang menggulingkan Presiden Soekarno pada tahun 1966 menyusul pembunuhan massal 1965, yang selama puluhan tahun disebut G30S/PKI.

Generasi saya hidup dan berkembang di bawah indoktrinasi yang sistematis dan rapi oleh Orde Baru. Terkait pembunuhan massal 1965, otak kami dicuci untuk meyakini bahwa pembunuhan antara 500.000 jiwa hingga dua juta jiwa sepanjang 1965 dan 1966 bisa dibenarkan demi menyelamatkan bangsa, demi menyelamatkan para umat Islam dan Kristen yang taat di Indonesia. Walau nyaris semua aspek kehidupan dikendalikan total oleh Soeharto, sejumlah umat manusia di Indonesia tetap saja berhasil membebaskan dirinya, termasuk saya.

Namun saya cukup yakin bahwa mayoritas warga Indonesia dalam generasi saya dan sekitarnya, hidup dengan gagasan bahwa pembunuhan massal 1965 adalah tragedi yang sangat menyedihkan namun dibutuhkan.

soehartoDan itu menciptakan perbedaan di tingkat individu, dengan minoritas yang pendiam. Pada masa universitas, misalnya, selalu saja ada sekelompok kecil mahasiswa yang mengecam film yang kesohor: Pemberontakan G30S/PKI

Masuk ke media

Semua surat kabar, majalah, radio, TV, membutuhkan izin dari pemerintah yang bisa dicabut kapan saja, seperti yang terjadi tahun 1994 atas Tempo dan dua majalah mingguan lainnya, serta beberapa koran pada tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya izin penerbitan merupakan warisan dari zaman kolonial, yang dimodifikasi Presiden Soekarno dan kemudian oleh Presiden Soeharto.

Jadi realitasnya adalah: para pemilik media tidak ingin kehilangan izin dan pada saat bersamaan –di tingkat praktis- banyak wartawan yang yakin penuh bahwa yang disebut kematian terkait G30S/PKI bisa dibenarkan.

Masih terkenang, sebagai wartawan baru, saya mewawancarai Ibu Sulami, yang dipenjara 20 tahun tanpa pengadilan dan setelah bebas memulai sebuah gerakan untuk mempersatukan para korban 1965 yang masih selamat. Seingat saya ada satu dua redaktur maupun penanggung jawab rubrik yang berpendapat ‘kenapa harus membuat satu majalah menjadi berisiko hanya karena satu interview?’. Ada juga yang khawatir wawancara itu menempatkan Ibu Sulami dalam posisi terancam.

Beritanya sendiri, sepanjang ingatan saya, tetap terbit tapi bukan tentang upaya mempersatukan para korban 1965 tapi semacam kisah-kisah para tapol yang bebas.

tempoItu di Tempo, salah satu media yang mandiri di bawah pemerintahan Soeharto.

Jelas amat sulit untuk menerbitkan berita-berita yang menentang indoktrinasi pemerintah tentang G30S/PKI, apalagi menempatkan pemnbunuhan massal 1965 sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah dan militer.

Melompat ke abad 21.

Tempo merupakan satu dari yang sedikit meliput kekejaman 1965 secara rutin setiap tahunnya. Dan datanglah film terkenal, The Act of Killing oleh Joshua Oppenheimer tahun 2012, yang menjadi alasan bagi Tempo untuk menurunkan laporan khusus yang lengkap tentang tragedi itu. Sedangkan mayoritas media lebih banyak menulis tentang film Joshua, yang menghentak banyak orang di Indonesia.

Mungkin tidak perlu penjelasan lagi tentang film itu, namun berita yang paling banyak dilaporkan oleh media Indonesia adalah bahwa Joshua menipu tokoh utama film, Anwar Congo. Itulah sudut pandang berita yang paling banyak. Sementara The Jakarta Post, antara lain, menurunkan kritik dari seorang korban bahwa film itu meniadakan peran militer dalam pembunuhan massal 1965.

Berita lainnya yang juga tergolong banyak adalah penghentian pemutaran film dalam kelompok-kelompok kecil yang ekskusif dibubarkan oleh para anggota organisasi-organisasi yang mengaku nasionalis.

act

Jadi amat banyak berita tentang The Act of Killing namun hanya sedikit yang menggunakannya sebagai gantungan untuk menginstropeksi cara pandang Indonesia dalam melihat pembunuhan massal 1965, apalagi menjadikannya sebagai momen untuk menekan pemerintah Indonesia agar menyampaikan permintaan maaf kepada para korban, kepada indvidu-individu yang menderita, baik yang masih hidup maupun yang dibunuh.

Media Indonesia, saat ini, mungkin menikmati kebebasan yang paling besar di dunia. Memang masih ada kekerasan atas wartawan, oleh aparat militer, pejabat pemerintah, pengusaha, atau individu-individu lain dalam masyarakat. Situasinya adalah media di Indonesia bisa melaporkan apa saja dan di sisi lain bisa menjadi bulan-bulanan pula dari orang yang tersinggung tanpa adanya perlindungan yang cukup.

Pada saat bersamaan, terjadi perubahan besar dalam bisnis media di Indonesia, dan juga di dunia. Persaingan yang ketat antara media internet, stasiun TV, dan koran menempatkan berita-berita yang cepat, sensasional, dan yang ‘riuh’ sebagai prioritas. Tidak perlu memaparkan substansi persoalan atau mempertimbangkan signifikansi sebuah peristiwa terhadap masyarakat luas.

1Ambil saja peristiwa terbaru utuk dikemas dengan formula cepat dan singkat selagi masih trending, sebuah mantra dalam media abad 21. Angka selalu penting dalam bisnis media, namun pada era zaman digital, di Indonesia menjadi terasa lebih penting lagi: rating, pageviews, unique users, trending, Facebook likes, dan retweets. Mungkin tidak ada yang salah dengan kondisi itu di sebuah alam ekonomi pasar bebas: kita berikan semua yang akan dibeli konsumen.

Dan rasanya pembunuhan massal 1965, kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998 , pembunuhan Munir 2004 akan ‘laris’ untuk diliput oleh mayoritas media di Indonesia pada tahun 2015.

Mari kita menempatkan kenyataan itu pada konteks kepemilikan media. Banyak grup media besar yang dimiliki para politisi atau pengusaha yang berpihak sehingga menjadi tidak seimbang, seperti terbukti saat pemilihan presiden 2014 lalu. Dan saya yakin belum ada partai politik di parlemen yang secara terbuka bersimpati pada korban kekejaman 1965, yang masih tabu untuk diangkat oleh hampir semua politisi di Indonesia, di tingkat nasional maupun daerah. Dan mereka itulah antara lain para pemilik grup-grup media besar.

3Bagaimanapun ada potensi besar. Kaum muda Indonesia bisa menikmati kebebasan yang tidak tersedia di sejumlah besar negara dunia lainnya. Sebagian besar mungkin sama sekali tidak punya gagasan tentang pembunuhan 1965, Tanjung Priok, Talangsari, atau Munir dan jelas merupakan peluang bagi mereka untuk memperkenalkan masalah-masalah hak asasi manusia tersebut.

Kembali ke pertanyaannya, apakah kita tetap bisa mengandalkan media konvensional untuk tujuan itu? Mungkin ya, namun jelas media sosial lebih efektif bagi kaum muda di Indonesia.

Berdasarkan data Statista, di Indonesia terdapat sekitar 80 juta pengguna Facebook dan 30 juta pengguna Twiter, yang masih akan terus bertambah. Juga masih akan tumbuh pengguna media sosial lain, seperti Snapchat, We Chat, Instagram, Path, atau Periscope. Dan banyak bukti-bukti bahwa kaum muda menggunakan media sosial dengan amat efektif untuk memberi tekanan kepada pemerintah dan DPR Indonesia.

Peluang lainnya adalah dengan semakin banyaknya yang merujuk G30S/PKI sebagai kekejaman 1965, pembunuhan massal 1965, pelanggaran HAM 1965, atau sekedar G30S tanpa garis miring PKI. Kematian 500.000 hingga dua juta orang pada masa 1965-1966 ternyata bisa dilepaskan dari elemen politik untuk dimasukkan ke dalam isu hak asasi. Bagi kaum muda Indonesia -yang dengan kebebasannya bisa dengan mudah masuk ke dalam masyarakat modern global, antara lain dengan nilai kemanusian universalnya- maka demokrasi, keterbukaan, hak asasi, akuntabilitas sudah menjadi konsep yang mereka kenal dengan baik.

Jadi masih perlukah media konvensional untuk mengangkat masalah hak asasi di Indonesia?

***
*. Ditulis ulang dari Do the 1965 mass killing need conventional media? yang disampaikan dalam diskusi Remembering The Forgotten, yang digelar Amnesty International dan Tapol di London, Rabu 23 September untuk mengenang 50 tahun kekejaman 1965.

Kasus 2: Media Massa dan Agama

Pertanyaanya, setelah pembunuhan di kantor majalah satire Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, apakah media massa tidak boleh menyindir agama?

Jawabannya, tergantung.

Profesor Martha Steffens dari Sekolah Jurnalisme Unversitas Missouri, AS, dalam tulisannya di Columbia Review Journalism -sekitar sepekan setelah insiden Charlie Hebdo- menegaskan setiap surat kabar harus mempertimbangkan pembacanya.

“Setiap media tidak akan mengambil keputusan yang sama.”

Dalam sebuah siaran berita TV Channel 4 Inggris, juga terkait Charlie Hebdo, dihadirkan kartunis Belanda, Ruben L. Oppenheimer. Dia menjadi tamu dalam siaran berita itu karena karyanya tentang dua pensil yang akan ditabrak sebuah pesawat terbang, yang mengingatkan aksi teroris 11 September 2001 atas World Trade Centre, New York. Kartun itu, yang dimaknai sebagai serangan teroris atas kebebasan mengungkapkan pendapat- banyak beredar tak lama setelah pembunuhan Charlie Hebdo.

Pembawa acara bertanya,”Apakah ada batasan hal-hal yang tidak Anda gambar?” Ruben menjawab dia tidak akan membuat kartun tentang kesedihan pribadi seseorang, tapi isu-isu besar seperti agama, terorisme, dan semua hal aktual akan dijadikannya kartun.

“Tapi apakah Anda akan membuat kartun tentang holokos?” kejar pembawa acaranya. Buat orang Eropa, holokos adalah sebuah tragedi yang nyaris sakral, yang menjadi salah satu landasan hukum di beberapa negara Eropa. Belasan tahun tinggal di Inggris, seingat saya, belum pernah rasanya melihat lelucon tentang holokos -tapi kalau yang mengatakan itu cuma konspirasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi, amat banyak.

“Tidak ada kebutuhan untuk membuatnya saat ini tapi kalau ada alasannya, kenapa tidak…” dan Ruben mengaku jika membuat kartun tentang holokos, maka akan ada masalah besar. Dia juga merujuk sebuah kasus di Belgia yang memperlihatkan hipokritsme di Eropa karena kartun holokos yang mendapat kecaman banyak warga.

Jadi ada dua hal. Yang pertama, relevansi dan aktualitas menjadi kunci utama. Sedang yang kedua, pertimbangkan konteksnya, pahami masyarakatnya.

Ada batasan

Tugas utama media massa adalah melaporkan peristiwa ‘hangat’ yang menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi kekinian menjadi prinsip dasar media massa. Dan jika memang pada satu hari agama menjadi agenda masyarakat luas, maka sebuah koran –yang benar- akan menurunkan berita utama, tajuk rencana, maupun karikatur tentang agama yang jadi agenda tadi. Sementara TV dan radio menurunkan berita utama, ulasan, dan menampung komentar tentang agenda utama hari itu, entah agama, militer, suku, harga minyak, atau hak asasi manusia.

Majalah Tempo

Majalah Tempo

Apakah kita semua masih ingat berita tentang pembantaian sadis warga Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat, tahun 2011? Tiga orang dibunuh hanya karena memiliki keyakinan agama yang berbeda.

Seandainya ada kartunis yang membuat karikatur seorang pria berbaju koko dengan surban memancung seseorang yang sudah jatuh tak berdaya dengan pedang bertuliskan Nabi Muhammad SAW, bagaimana reaksi umat Islam? Bangga atau marah?

Tinggalkan soal kemungkinan tanggapannya karena perdebatannya bisa amat panjang.

Prinsipnya, semua hal bisa menjadi berita di media massa dan agama harus diperlakukan sama dengan soal-soal lain. Media massa –yang benar- seharusnya tidak bias dalam penentuan isu.

Tentu pula semua hal di dunia ini memiliki batas.

Saatnya kita ke konteksnya atau masyarakatnya.

Di Prancis -yang antara lain melarang murid sekolah negeri mengenakan lambang-lambang agama, entah itu kerudung, surban Islam atau Sikh, maupun kippah (topi Yahudi)- menyindir agama tidak jadi masalah. Tapi menyindir homoseksual atau menyindir holokos mungkin bisa jadi masalah besar. Suka tidak suka, begitulah masyarakat Prancis.

Sedangkan di Thailand, menyindir Raja Bhumibol Adulyadeja bisa mengantarkan orang ke penjara, walau cuma sekedar melaporkan kesehatan raja kritis tanpa menggunakan pernyataan resmi kerajaan. Tapi di Inggris, Ratu Elizabeth sering jadi bahan canda. Seorang kolumnis koran The Independent, bahkan menulis ‘kalau Pangeran Charles nanti buat masalah, kita tidak mau dia jadi raja’.

Di Indonesia?

Kalau ditelurusi dari zaman Orde Baru rasanya banyak, walau tak terlalu jelas rambu-rambunya. Dulu ada Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, PPG, di Departemen Penerangan, yang kerap memberi peringatan, yang juga tidak terlalu jelas alasannya, kepada para pemimpin redaksi. Tapi ada larangan, misalnya, memberitakan Komunisme/Marxisme -mungkin masih sampai sekarang- juga SARA, yang seperti aturan karet sehingga bisa ditarik ke sana ke mari sesuka penguasa.

Majalah Tempo, Editor, dan Detik dibredel tahun 1994 karena liputan invstigasi tentang pembelian kapal perang bekas dari Jerman yang dipimpin Menristek BJ Habibie. Penafsirannya jangan kritik putra mahkota BJ Habibie, yang memang ditunjuk Presiden Soeharto menjadi penerusnya namun sekitar 1,5 tahun kemudian dilengserkan MPR.

sinar harapan copy

Tahun 1974 –setelah unjuk rasa mahasiswa menentang modal asing saat kedatangan PM Jepang, Tanaka Kakuei yang dikenal dengan Malari- sejumah koran juga diberangus walau beberapa kemudian terbit lagi. Sedang pertengahan 1980-an, Sinar Harapan dan Prioritas yang kena bredel karena berita tentang kemungkinan devaluasi dan hutang luar negeri.

Sedang yang berurusan dengan agama rasanya cuma mingguan Monitor, yang membuat jajak pendapat tokoh paling popular di Indonesia dengan peringkat satu Suharto dengan Nabi Muhammad di peringkat 11. Unjuk rasa menentang Pemred Monitor, Arswendo Atmowiloto, meluas dan Menpen Harmoko mencabut SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers tabloid mingguan itu.

Dan kalau dilihat UU Pers No.40/1999 dan UU Penyiaran No.32/2002, jelas tidak ada larangan untuk isu-isu tertentu. Jadi peliputan merupakan urusan kode etik dengan juri Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Sedangkan masalah di media sosial, sejauh ini diserahkan kepada hukum pidana.

Kebebasan pers yang ideal

Jika kembali ke pertanyaannya, maka jawabannya tidak ada isu yang tidak boleh disindir oleh media massa.

Cuma bersamaan dengan kebebasan, ada tanggung jawab masing-masing media massa kepada para khalayaknya. Menjadi salah satu tugas utama wartawan atau jurnalis untuk mengenal kepekaan masyarakat dengan menyeimbangkan dampak sosial dan kebebasan mengemukakan pendapat.

Dan sebuah media –yang benar- akan membangun sistem keredaksian yang memungkinkan semua aspek dipertimbangkan dalam melaporkan sebuah peristiwa. Yang paling sederhana adalah mekanisme rapat redaksi untuk meminimalkan pendapat-pendapat individu.

Media yang lebih maju menyusun panduan lengkap tertulis tentang hal-hal yang tidak boleh dilaporkan. Itu pun masih diikuti dengan pelatihan-pelatihan wartawan yang tidak pernah berhenti untuk menanggapi masalah-masalah baru yang muncul sejalan dengan perkembangan masyarakat. Beberapa media juga membayar penasehat hukum untuk piket harian sebagai rujukan dalam pemberitaan isu-isu yang memiliki dampak hukum.

Kebebasan mutlak tidak pernah ada, apalagi dalam kerumitan masyarakat abad ke-21.

Ketika perkembangan teknologi memungkinkan semakin intensnya hubungan antara masyarakat-masyarakat dunia, tetap saja belum semua masalah lokal otomatis menjadi masalah global. Memang ada risiko tanggapan global untuk masalah lokal, seperti yang terjadi pada majalah satire Charlie Hebdo, ketika globalisasi militansi Islam menanggapi lokalitas nilai masyarakat Prancis.

Namun militan Islam adalah soal lain.

Sedang untuk media massa: jurnalis –yang benar- menjunjung tinggi kebebasan mengungkapkan pendapat dan memahami masyarakat tempat hidupnya.

***

Kasus 1: Pembunuhan Jurnalis atas Nama Agama (Pembunuhan Apa pun Tanpa Nama)

Belum jelas motif dua teroris yang menyerbu kantor majalah satire Charlid Hebdo di Paris dan menewaskan 12 orang, 10 disebutkan wartawan –termasuk empat kartunis- dan dua polisi.

Kedua penyerang disebut memekik Allah Akbar waktu menyerbu masuk. Dan Majalah Charlie Hebdo pernah menerbitkan kartun Nabi Muhammad, juga ‘menunjuk’ Nabi Muhammad sebagai editor tamunya, yang membuat banyak umat Islam tersinggung. Cuma Charlie Hebdo pernah pula menjadikan Yesus sebagai subyek satirenya, dan Paus.

Di berbagai media sosial tak sedikit –kalau di Indonesia bisa lah dibilang banyak- yang setuju dengan pembunuhan barbar di Charlie Hebdo. “Siapa suruh menghina Nabi Muhammad..” atau “Rasain…” Beberapa mengkaitkan dengan Palestina. “Baru 12 mati sudah ribut, ribuan di Palestina mati, media diam” atau menyebut-nyebut Amerika Serikat: “Ini semua gara-gara negara munafik Amerika Serikat.”

Orang boleh punya pendapat suka-suka, dan itulah memang prinsipnya. Bukan ditembak.

Dalam acara bincang dengan Wakil Perdana Menteri Inggris, Nick Clegg, di radio London Big Conversation, LBC _Kamis 8 Januari- seorang penelepon bernama Omar, menanggapi Cleg dengan mengatakan soalnya bukan hanya kartun Nabi Muhammad, tapi soal yang lebih besar ‘tentang perasaan 1,4 miliar umat Muslim di dunia,’ begitulah katanya.

Saya tidak pernah suka Nick Clegg, pemimpin Partai Liberal Demokrat Inggris yang masuk koalisi pemerintahan David Cameron dari Partai Konservatif. Dia, menurut saya yang sok tahu, ragu-ragu, tak punya pendirian atau tak berani mengungkapkan dengan tegas pendiriannya, dan dengan bergabung ke koalisi Cameron makin ‘cemen’ saja rasanya: harus mendukung yang tidak dia yakini.

charlie1

Tapi jawaban di bincang LBC –yang saya baca transkripnya- membuat saya memuji dia, paling tidak satu kali lah, saat menangapi Omar. “Tidak ada alasan untuk membunuh kartunis yang membuat gambar yang menyindir mereka.”

Dan ditambahkannya, kalau semua orang punya hak untuk menyindir orang lain dalam sebuah masyarakat yang bebas. “Anda tidak punya kebebasan kecuali orang bebas untuk saling menyindir. Anda tidak punya hak untuk tidak tersindir.”

Setuju kali Mister Clegg… (Aku cinta padamu!)

Hanya dalam sebuah masyarakat yang bebas, orang bisa mengkritik pemerintahnya, aparat polisi, maupun tetangga sebelah yang masang musik terlalu keras. Atau melawan secara terbuka pendeta, pastor, biksu, maupun ulama yang berpendapat: “pembunuhan atas nama agama dibenarkan.”

“Botol kali pendeta/ulama itu. Tak ada otaknya, masih lebih pandai dengkulnya. ” (Botol = Bodoh Tolol)

Tapi mampuslah kita, pendeta/ulama itu tersinggung dan ditembak lah kita semua : mati dengan darah bergelimpangan.

Seandainya lah semua ketersinggungan diselesaikan dengan pembunuhan…

Itu satu, soal pembunuhan. Tidak ada alasan untuk membunuh dalam sebuah masyarakat demokratis.

Jadi membunuh jurnalis yang menghina agama, pada prinsipnya, sama barbarnya dengan membunuh pencuri ayam, koruptor, pemerkosa, atau seorang pria yang gaya duduknya ngeselin maupun perempuan yang pakai rok mini.

Ada sistem yang menjamin orang yang tersinggung bisa ‘membalas dendam’ lewat cara menyinggung balik atau lewat gugatan hukum.

Itulah masyarakat yang bebas, bukan, misalnya, seperti masyarakat di Korea Utara, Kuba, atau Arab Saudi.

Sekarang masuk ke jurnalistiknya.

Beberapa tahun lalu, saya ingat pernah berdebat dengan seorang mantan wartawan yang mendirikan semacam LSM untuk jurnalisme perdamaian. Buat saya jurnalisme itu cuma gaya-gayaan untuk mendapat bantuan dana dari lembaga asing. Itu persis kayak zaman Suharto: jurnalisme pembangunan atau jurnalisme persatuan. Oh ya ada satu lagi: jurnalisme Pancasia.

Perdebatan itu tak membawa kami berdua kemana-mana. Dia mungkin tersinggung, sedang saya jelas tersinggung -rasanya sampai sekarang: ‘profesi yang saya jalani serius malah diperkosa seenaknya.’ Tapi kami tidak saling membunuh, makanya masih hidup dan masih bisa berdebat sampai sekarang.

Tapi kalaulah junalisme perdamaian –entah apa pun definisinya- meniadakan ketersinggungan atau permusuhan -tidak ada yang salah dengan permusuhan selama tidak saling berupaya ‘mematikan walau jelas bukan kondisi ideal- jelas jurnalisme itu, saya makin yakin lagi, cuma omong kosong.

charlie3

Menyindir adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindai dari tugas jurnalis, mau pakai istilah apa pun jurnalismenya. Dengan melaporkan fakta (lihat lagi bagian Siapakah Wartawan? Atau: Siapakah Jurnalis?), maka pemerintah bisa merasa disindir karena, misalnya, membual tentang Kartu Jaminan Sosial yang sudah sampai di semua provinsi tapi sebenarnya belum sampe di Maumere, Flores, atau di Kabupaten Yakuhimo, Papua.

Ingat juga peribahasa, media adalah pilar keempat demokrasi, setelah lembagai eksekutif, judikatif, dan legilastif. Dia menjadi amat penting untuk penyeimbang dari sebuah kekuasaan. (Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely…”). Bayangkan kalau kita kembali ke zaman kekuasaan raja pada masa pertengahan yang bisa memerintahkan orang masuk penjara tanpa pengadian.

Waktu membaca berita tentang The Jakarta Post yang diprotes karena kartunnya dianggap menghina kelompok militant ISIS, saya manggut-manggut. Selama unjuk rasanya teriak-teriak, apa masalahnya (ya jelas mengganggu ketertiban umum tapi itu urusan polisi lah). Juga ketika Pemrednya dilaporkan ke polisi, maka Aliansi Jurnalis Independen atau AJI –yang saya ikut dirikan dan sampai sekarang saya dukung- memprotes dengan mengatakan mestinya lewat UU Pers, saya manggut-manggut juga (sistem hukum itu bagian dari masyarakat yang bebas kok, tapi ya AJI harus memperjuangkan UU Pers kan).

Sekarang tinggal pengadilannya nanti, mau pakai dengkul atau otak.

Tapi inti dari kasus The Jakarta Post adalah apa pun yang diberitakan di suatu media selalu membuka ketersinggungan dari pihak lain. Ketika media memiliki kebebasan –yang melekat dengan kode etik profesi- maka ketersinggungan akan lengket pula, otomatis dan langsung.

Bahkan di Korea Utara sekali pun, berita-berita kantor beritapemerintah KCNA , yang memuaskan Kim Jong-un dan antek-anteknya, bisa saja membuat warganya tersinggung tapi ya terpaksa ditahankan orang itulah. Mau menembak Kim Jong-un mana lah mungkin di Pyongyang sana (film satire produksi Amerika Serikat tentang komplotan yang mau membunuhnya saja sudah bikin pemerintahnya marah).

Penulis terkenal Arswendo Atmowiloto dulu pernah dihukum karena jadi Pemred Monitor tahun 1990 karena membuat jajak pendapat untuk daftar orang paling populer di Indonesia. Yang nomor satu Soeharto (waktu itu masih presiden) sedang Nabi Muhammad masuk peringkat 10. Banyak unjuk rasa dari kelompok Islam, Monitor ditutup, dan pengadilan menghukum penjara Arswendo.

Pada masa rezim Suharto, skenario kayak apa lagi yang mau diharapkan: ya seperti itu lah. Pemilik tabloid Monitor, Jakob Oetama, ketakutan sedang pengadilan tunduk sama Suharto. Itu kenyataan dalam sebuah masyarakat.

Arswendo sendiri tak terimbas tekanan dan selama di penjara sekitar lima tahun, tetap saja menulis novel, artikel, dan cerita bersambung. Sekali penulis tetap penulis.

Semoga kisah yang sama terjadi juga terkait Charlie Hebdo ini, sekali kartunis tetap kartunis, sekali wartawan tetap wartawan, dan edisi berikut majalah satire itu rencananya akan dicetak sampai satu juta eksemplar, padahal biasanya sekitar 60.000-an, dengan bantuan media Prancis lainnya.

Republik Prancis yang memisahkan agama dari kehidupan bersama, mau menegaskan dukungan atas cara berpikir Charlie Hebdo dengan membuat semua hal -semua hal, dan bukan hanya Nabi Muhammad- bisa jadi bahan sindiran. Namanya juga majalah satire. (KBBI: satire = gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang, sindiran atau ejekan)

Cemanapun media paham sepenuhnya kalau orang yang disindir bisa saja menjadi tak suka. Makanya ada surat pembaca, tempat orang-orang yang disindir –atau yang mendukung sindiran- menyampaikan pendapat versinya dan silahkah pula dia menyindir kembali. Zaman media massa digital sekarang sudah ada kolom tanggapan langsung pembaca di bawah berita, tinggal ketik dan pencet kolom Kirim.

Jadi yakinkanlah diri kita semua, bahwa tersinggung itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang demokratis. Tinggal pande-pande orang lah membuat supaya syaraf ketersinggungan tidak terlalu peka atau, lihat kitab undang-undang: disana jelas yang boleh disindir dan yang tidak boleh disindir.

Tapi apakah media tidak boleh menyindir agama?

Kita bisa membahasnya dalam kasus berikut. Cepatlah langganan blog ini.
***

Media Massa, Dinosorus abad 20

Coba ingat-ingat, darimana kalian pertama kali mendengar hasil penghitungan suara di DPR tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, jadi bukan pilsung (pilihan langsung, kalok ente kurang bergaul)? Waktu itu voting berlangsung sampai sekitar jam tiga subuh, dan sejumlah stasiun TV menyiarkan langsung.

Kok jadi panjang, balik ke pertanyaan: darimana pertama kali mendengar hasil votingnya?

Dari siaran langsung TV (Anda bergadang juga kayak wartawan-wartawan di Gedung DPR?) atau siaran berita TV waktu sarapan pagi, di radio sambil nyetir ke kantor, dari kawan yang menelepon ke rumah, atau ketika membaca koran di KRL Depok-Jakarta (yang ini bohong: nggak mungkin koran pagi terbit dengan berita tentang peristiwa jam 3 subuh).

Tapi jawaban-jawaban itu -anggaplah yang dari koran tadi tidak bohong- rasanya sudah terlalu kuno. Jadi kita modernkan sikit: dari Kompas.com, Tempo.co, atau mailing list?

Masih kurang ‘cool’ juga? Kalok ini: dari Facebook, Twiter, Google+, atau grup Watsapp?

Baru lebih pas rasanya.

“Dari ciutan Menkominfo Tifatul Sembiring,” misalnya.

Perkembangan teknologi media sosial memang memungkinkan seseorang –giliran Tifatul Sembiring dulu jadi tokohnya- bisa menyampaikan pesan langsung kepada ratusan ribu orang. Sekitar sepekan sebelum Kabinet Indonesia Bersatu 2 habis masa jabatannya, politikus PKS itu memiliki 818.000 pengikut di Twitter dan per Selasa 28 Oktober sudah naik jadi 825.000. Bandingkan dengan tiras Kompas, yang diakui sekitar 500.000 setiap harinya, atau Koran Tempo rata-rata per hari 240.000.

Dan Tifatul hanya perlu satu dua menit menulis 140 kata dan satu pencetan agar 818.000 orang menerima pesannya, menerima beritanya. Tak perlu mobil barang untuk distribusi, juga tak perlu penjual koran di lampu merah, atau abang pengantar koran ke rumah-rumah. Satu pencet!

tifatul

Kita mundur dulu ke 11 tahun lalu (Facebook mulai layanan awal 2004 dan Twitter pertengahan 2006). Tahun 2003, kalau Tifatul mau menyampaikan pesan ke puluhan ribu, apalagi ratusan ribu orang, pada waktu yang ‘bersamaan’ maka dia harus diwawancara TV, radio, atau koran (bisa juga belii ruang iklan yang mahal kali). Singkatnya untuk mencapai massa maka harus menggunakan media massa.

Sekarang kita beranjak ke apa itu media massa? Jawaban gampangnya: tempat kerja wartawan atau jurnalis.

Terus apa syaratnya untuk disebut media massa?

Media itu harus untuk massa, yaitu sejumlah besar orang yang saling tidak mengenal, tidak punya hubungan langsung, dan juga tidak berbentuk. Singkatnya sekumpulan orang yang tidak terlalu jelas bentuk dan tujuannya. Jumlah massa? Nggak jelas. Yang pasti bukan dua atau tiga orang (itu mungkin lebih tepat disebut duo atau trio). Puluhan? Ya dan tidak, tapi kemungkinan besar tidak. Ratusan? Juga masih ya dan tidak. Ribuan, makin dekat ke massa dan puluhan ribu atau ratusan ribu, masuklah untuk disebut massa.

Syarat massa yang paling penting adalah kumpulan orang itu tidak saling kenal, tapi mereka diikat oleh satu hal. Menggunakan tokoh utama seri ini, Tifatul Sembiring, maka 800.000 orang lebih pengikutnya adalah massa. Memang Twitter punya fasilitas untuk saling mengenalkan, tapi 800.000 pengikut Tifatul tetap saja tidak saling mengenal.

Cemanapun Twitter lebih sebagai sosial dan bukan media massa.

Ini mungkin lebih urusan istilah. Mungkin tak ada yang pernah membayangkan perkembangan Facebook, Twitter, atau Instagram yang terbukti amat pesat. Media yang awalnya untuk saling sapa antar kawan atau kenalan, berkembang untuk segala macam: kampanye politik (pastilah masih teringat #shameonyousby), iklan (berapa banyak status: “mau menghemat pulsa?”), berita (yakinlah Anda makin sering dapat berita terbaru dari Facebook atau Twitter) atau kabar kegiatan sehari-hari (“puas, habis gowes 50km,” misalnya maupun “baru beli Orchard Ice Bread di Bandung.”).

Kira-kira samalah isinya dengan TV, koran, radio –yang pertama kali didefiniskan sebagai media massa.

Bedanya adalah –ciri kedua media massa- tidak personal. Agak tak jelas siapa sebenarnya yang menyampaikan pesan. Walau ada presenter, kolumnis, atau wartawan yang terkenal dan ditunggu-tunggu (ganti tokoh sebentar, seperti Najwa Shihab) jelas bukan dia satu-satunya di media tersebut. Macam-macam orang di sana, laki-perempuan, menarik-membosankan-biasa.

Yang berikut, sifatnya serentak. Memang dengan teknologi digital, ada TV dan radio yang sudah bisa ditonton atau didengar kapan saja. Pada masanya, pilihannya nonton saat ini atau lewat. Titik.

Tak bisa –kayak Twitter- nanti sajalah awak baca karena pas tak ada sambungan internet pulak dan toh ciut Tifatul masih akan ada di sana. Tak bisa karena harus duduk dan nonton detik ini juga (teknologi untuk nonton Mata Najwa di Youtube belum ada).

Sama juga dengan koran: sekarang atau nggak. Walau tidak sedisiplin penonton TV dan pendengar radio, abang-abang tukang koran mengantar koran subuh-subuh agar puluhan sampai ratusan ribu bapak dan ibu membacanya sambil sarapan pagi. Sedang abang-abang menjual koran di dekat lampu merah supaya puluhan maupun ratusan ribu mas dan mbak membacanya di mobil atau di KRL. (Ya ada juga yang baru jam lima sore baca koran pagi, kemungkinan besar karena dapat lepasan koran tak laku dari abang loper koran… 🙂

Dan satu lagi: sifatnya searah. Ada surat pembaca, ada telepon pemirsa, cuma kalau dilihat dari total penyampaian pesan, jelas yang amat dominan adalah searah. Dari satu pihak –lembaga atau perusahaan- ke sejumlah banyak orang.

Tak ada cerita kalau pemirsa Salam Canda di RCTI yang dipandu mendiang Kang Ebed Kadarusman (ganti tokoh sikit dan ini jaman dulu kali sebenarnya) di Payakumbuh menyela “Kang Ebed, jangan ngejek kalilah…” Untuk menyampaikan komentar itu maka Ajo di Payakumbuh harus bayar telepon interlokal –itu pun diterima sama operator yang pasti kesal: “Cemananya kau, orang dia lagi siaran mau cakap sama dia pulak kau.”) atau kirim lewat surat (yang pakai perangko, belum ada email) dan sampai dua tiga hari lagi ketika Kang Ebed sudah cakap-cakap sama orang lain.

Itu kan zaman dulu….

Ya memang, makanya seri ini judulnya pake Dinosorus abad 20. Jelebau juga kau. Kau tengoklah dulu apa itu Dinosorus (sempatkan juga cari di Google apa artinya jelebau!).

Tapi oklah, sabar awak sikit.

Kisah zaman dulu perlu untuk melihat cemana sebenarnya perkembangan media dari dulu sampai sekarang (masih ingat kan judulnya Menjadi Wartawan, Dulu dan Sekarang) supaya kelak ada gambaran bahwa kerjaan wartawan berubah tapi tak berarti prinsip-prinsip kerja yang lama dilupakan.

Menutup seri ini: media massa memerlukan wartawan (ups… jurnalis) untuk mencapai sejumlah besar orang secara bersamaan dengan sifat searah.

Dan Seri 3 akan membahas beberapa teori massa. Sok-sok teorilah sikit.

____

Lihat juga di Facebook , Twitter, dan file PDF akan tersedia di www.ceritanet.com edisi November

Siapakah Wartawan? Atau: Siapakah Jurnalis?

Ada lelucon lama di Medan, tentang seorang warga keturunan Cina yang harus ujian kewarganegaraan (di jaman Orde Baru memang ada ujian seperti ini). Ketika ditanya ‘Apa Pancasila?’. Dengan aksen Cina yang kental dia menjawab yakin: ‘Itu olang malam-malam ketok pintu minta uang.’

Dia memang salah satu korban rutin pengompasan Pemuda Pancasila, (adegan ini ada di film The Act of Killing arahan Joshua Oppenheimer).

Apakah tragedi yang sama bisa juga untuk wartawan? Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto mungkin bisa.

Itulah sebabnya sekelompok pejuang pers mandiri pada pertengahan 1990-an menyebut diri jurnalis dan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, AJI, untuk membedakan dengan tegas dari Persatuan Wartawan Indonesia, PWI, yang waktu itu banyak anggotanya menerima uang atau jasa lain dari sumber. AJI menentang keras praktek itu dan beberapa anggotanya malah ditangkapi dan dipenjarakan. Lha kok?

Wartawan atau Jurnalis berasal dari kata warta atau jurnal. Artinya melaporkan. Itulah pekerjaan utama wartawan: melaporkan satu peristiwa.

Tapi laporan bermacam-macam. Ada laporan bawahan untuk atasan yang berprinsip Asal Bapak Senang. Ada pula laporan sebuah kelompok pegiat ke Komnas HAM, yang didramatisir sedikit supaya Komnas HAM terdorong melakukan penyelidikan. Atau laporan Duta Besar Indonesia di Washington untuk Menteri Luar Negeri tentang anggaran yang membengkak karena kurs rupiah menurun. Atau laporan guru sekolah tentang anak saya yang bolos terus biarpun dari rumah tiap hari ngakunya ke sekolah.

Ada banyak laporan.

Tapi yang mana yang berkaitan dengan wartawan atau jurnalis? Berhubung, katanya, sudah zaman reformasi –biarpun agak mundur karena Pilkada sekarang tidak langsung lagi- kita gunakan saja kata wartawan dan jurnalis secara bergantian, tanpa bermaksud menuduh yang satu dan membela yang lain.

Itu dia yang pertama. Jurnalis tidak berpihak. Jadi laporan jurnalis seimbang, kiri dan kanan sama berat. Jangan belum apa-apa sudah menuduh. Itu dulu, nanti bisa dibahas lebih lanjut.

Yang kedua, laporan wartawan adalah fakta. Tidak dibumbui, tidak dikurangi, juga tidak didramatisir dan tidak dilembutkan pula. Yang dilihat dan yang didengar itu yang dilaporkan.

Laporan jurnalis juga menyangkut kepentingan orang banyak. Anak saya yang suka bolos tidak akan dilaporkan wartawan tapi murid satu sekolah yang bolos semua akan dilaporkan karena macam mana pula sekolah itu kok bisa semua muridnya bolos. Para orang tua murid jelas berkepentingan.

Soalnya kemudian adalah kalau sekolahnya di Tangerang, mana ada pentingnya sama orang yang tinggal di Gorontalo (di Pulau Sulawesi sana). Nantilah dulu uraian panjangnya, sekarang ini prinsipnya saja dulu.

Juga banyak kali sekarang berita-berita yang dilaporkan wartawan tentang penyanyi yang cerai atau yang beli mobil baru? Itulah dia tadi, sabar sikit; soal itu pasti dikaji lebih dalam.

Balik ke awal, menjadi jurnalis bisa gampang dan bisa juga sulit. Gampang karena dengan Facebook, Twiter, Youtube, Watsap, Email, Firechat, jelas semua orang bisa melaporkan dengan tidak berpihak, sesuai fakta, dan untuk kepentingan orang banyak. Persis, 100% benar!

Cuma mungkin ada baiknya memilih jalur yang sulit. Kemajuan teknologi dan kompleksitas kehidupan global yang saling berkaitan telah membuat sikap tidak berpihak, sesuai fakta, dan kepentingan orang banyak menjadi sesuatu yang dilematis, yang kontroversial, dan tidak jelas.

Dan di era iPhone dan Samsung Galaxy sekarang, makna dan fungsi informasi semakin penting lagi. Salah informasi bisa salah keputusan dan salah keputusan maka nasib orang banyak terancam. Ingat orang Afghanistan yang tak ada urusan sama Taliban dan Amerika Serikat mati dihantam pesawat tempur AS? Kenapa? Karena salah informasi. Sesama kawan orang itu pun, tentara Inggris, ada yang mati ditembak. Kenapa? (Pilih jawabannya: A. Karena Salah informasi, B. Karena pasukan AS marah, C. Karena salah pencet).

Sementara wartawan, sama dengan profesi lain, punya tanggung jawab juga, punya kode etik, dan juga bisa dipidanakan atau diperdatakan.

Jadi kalau Anda merasa yakin bisa berpegang pada tiga prinsip dasar wartawan tadi, sampai di sini lah pertemuan kita. Juga kalau Anda berpikir, “ah melapor di jaman sekarang ini ya suka-suka sendiri lah. Facebook gue punya, iPad gue punya, tongsis beli sendirik…” maka sarannya adalah jangan buang-buang waktu, dan sampai di sini juga lah pertemuan kita kawan.

Tapi seandainya mau belajar bersama sambal cakap-cakap untuk menuju wartawan yang benar, maka teruskanlah mengikuti seri-seri berikutnya. Menjadi benar memang sulit.

(Dan bersambung, cuma sebelum Seri 2 nanti, akan diselingi Intermeso 1 dulu…)
______

Kata kunci Seri 1
-. Melaporkan
-. Tidak berpihak
-. Berdasarkan fakta
-. Kepentingan orang banyak

Menjadi Wartawan, Dulu dan Sekarang (ala Liston P Siregar)

Salam,

Seri ini mungkin bisa jadi bahan belajar, bahan bacaan waktu senggang, atau bahan tertawaan…. atau mungkin juga cuma jadi bahan terbuang.

Tapi ingat-ingat: anak Medan punya pasti paten lah…

Muncul sekali seminggu atau sekali dua minggu… masih dipikir-pikir waktunya yang cocok.

Akan mainlah, segera kali.

Bisa diikuti juga www.ceritanet.com, di facebook ceritanet dan twitter ceritanet

Sedang dipikir-pikir kalau nanti bisa juga dimainkan di Youtube

editor@ceritanet.com