Perlu ditegaskan lebih dulu bahwa saya tidak melakukan penelitian atas media di Indonesia atau melakukan analisis isi yang sistematis, namun lebih merupakan pengalaman pribadi sebagai wartawan sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang, sebagai ‘orang yang suka mengeluh’ setiap menggunakan media internet Indonesia.
Perkenankanlah untuk memulainya dari pertengahan 1980-an ketika saya bekerja di Majalah Mingguan Tempo, salah satu dari sedikit media yang mandiri di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, yang menggulingkan Presiden Soekarno pada tahun 1966 menyusul pembunuhan massal 1965, yang selama puluhan tahun disebut G30S/PKI.
Generasi saya hidup dan berkembang di bawah indoktrinasi yang sistematis dan rapi oleh Orde Baru. Terkait pembunuhan massal 1965, otak kami dicuci untuk meyakini bahwa pembunuhan antara 500.000 jiwa hingga dua juta jiwa sepanjang 1965 dan 1966 bisa dibenarkan demi menyelamatkan bangsa, demi menyelamatkan para umat Islam dan Kristen yang taat di Indonesia. Walau nyaris semua aspek kehidupan dikendalikan total oleh Soeharto, sejumlah umat manusia di Indonesia tetap saja berhasil membebaskan dirinya, termasuk saya.
Namun saya cukup yakin bahwa mayoritas warga Indonesia dalam generasi saya dan sekitarnya, hidup dengan gagasan bahwa pembunuhan massal 1965 adalah tragedi yang sangat menyedihkan namun dibutuhkan.
Dan itu menciptakan perbedaan di tingkat individu, dengan minoritas yang pendiam. Pada masa universitas, misalnya, selalu saja ada sekelompok kecil mahasiswa yang mengecam film yang kesohor: Pemberontakan G30S/PKI
Masuk ke media
Semua surat kabar, majalah, radio, TV, membutuhkan izin dari pemerintah yang bisa dicabut kapan saja, seperti yang terjadi tahun 1994 atas Tempo dan dua majalah mingguan lainnya, serta beberapa koran pada tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya izin penerbitan merupakan warisan dari zaman kolonial, yang dimodifikasi Presiden Soekarno dan kemudian oleh Presiden Soeharto.
Jadi realitasnya adalah: para pemilik media tidak ingin kehilangan izin dan pada saat bersamaan –di tingkat praktis- banyak wartawan yang yakin penuh bahwa yang disebut kematian terkait G30S/PKI bisa dibenarkan.
Masih terkenang, sebagai wartawan baru, saya mewawancarai Ibu Sulami, yang dipenjara 20 tahun tanpa pengadilan dan setelah bebas memulai sebuah gerakan untuk mempersatukan para korban 1965 yang masih selamat. Seingat saya ada satu dua redaktur maupun penanggung jawab rubrik yang berpendapat ‘kenapa harus membuat satu majalah menjadi berisiko hanya karena satu interview?’. Ada juga yang khawatir wawancara itu menempatkan Ibu Sulami dalam posisi terancam.
Beritanya sendiri, sepanjang ingatan saya, tetap terbit tapi bukan tentang upaya mempersatukan para korban 1965 tapi semacam kisah-kisah para tapol yang bebas.
Itu di Tempo, salah satu media yang mandiri di bawah pemerintahan Soeharto.
Jelas amat sulit untuk menerbitkan berita-berita yang menentang indoktrinasi pemerintah tentang G30S/PKI, apalagi menempatkan pemnbunuhan massal 1965 sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah dan militer.
Melompat ke abad 21.
Tempo merupakan satu dari yang sedikit meliput kekejaman 1965 secara rutin setiap tahunnya. Dan datanglah film terkenal, The Act of Killing oleh Joshua Oppenheimer tahun 2012, yang menjadi alasan bagi Tempo untuk menurunkan laporan khusus yang lengkap tentang tragedi itu. Sedangkan mayoritas media lebih banyak menulis tentang film Joshua, yang menghentak banyak orang di Indonesia.
Mungkin tidak perlu penjelasan lagi tentang film itu, namun berita yang paling banyak dilaporkan oleh media Indonesia adalah bahwa Joshua menipu tokoh utama film, Anwar Congo. Itulah sudut pandang berita yang paling banyak. Sementara The Jakarta Post, antara lain, menurunkan kritik dari seorang korban bahwa film itu meniadakan peran militer dalam pembunuhan massal 1965.
Berita lainnya yang juga tergolong banyak adalah penghentian pemutaran film dalam kelompok-kelompok kecil yang ekskusif dibubarkan oleh para anggota organisasi-organisasi yang mengaku nasionalis.
Jadi amat banyak berita tentang The Act of Killing namun hanya sedikit yang menggunakannya sebagai gantungan untuk menginstropeksi cara pandang Indonesia dalam melihat pembunuhan massal 1965, apalagi menjadikannya sebagai momen untuk menekan pemerintah Indonesia agar menyampaikan permintaan maaf kepada para korban, kepada indvidu-individu yang menderita, baik yang masih hidup maupun yang dibunuh.
Media Indonesia, saat ini, mungkin menikmati kebebasan yang paling besar di dunia. Memang masih ada kekerasan atas wartawan, oleh aparat militer, pejabat pemerintah, pengusaha, atau individu-individu lain dalam masyarakat. Situasinya adalah media di Indonesia bisa melaporkan apa saja dan di sisi lain bisa menjadi bulan-bulanan pula dari orang yang tersinggung tanpa adanya perlindungan yang cukup.
Pada saat bersamaan, terjadi perubahan besar dalam bisnis media di Indonesia, dan juga di dunia. Persaingan yang ketat antara media internet, stasiun TV, dan koran menempatkan berita-berita yang cepat, sensasional, dan yang ‘riuh’ sebagai prioritas. Tidak perlu memaparkan substansi persoalan atau mempertimbangkan signifikansi sebuah peristiwa terhadap masyarakat luas.
Ambil saja peristiwa terbaru utuk dikemas dengan formula cepat dan singkat selagi masih trending, sebuah mantra dalam media abad 21. Angka selalu penting dalam bisnis media, namun pada era zaman digital, di Indonesia menjadi terasa lebih penting lagi: rating, pageviews, unique users, trending, Facebook likes, dan retweets. Mungkin tidak ada yang salah dengan kondisi itu di sebuah alam ekonomi pasar bebas: kita berikan semua yang akan dibeli konsumen.
Dan rasanya pembunuhan massal 1965, kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998 , pembunuhan Munir 2004 akan ‘laris’ untuk diliput oleh mayoritas media di Indonesia pada tahun 2015.
Mari kita menempatkan kenyataan itu pada konteks kepemilikan media. Banyak grup media besar yang dimiliki para politisi atau pengusaha yang berpihak sehingga menjadi tidak seimbang, seperti terbukti saat pemilihan presiden 2014 lalu. Dan saya yakin belum ada partai politik di parlemen yang secara terbuka bersimpati pada korban kekejaman 1965, yang masih tabu untuk diangkat oleh hampir semua politisi di Indonesia, di tingkat nasional maupun daerah. Dan mereka itulah antara lain para pemilik grup-grup media besar.
Bagaimanapun ada potensi besar. Kaum muda Indonesia bisa menikmati kebebasan yang tidak tersedia di sejumlah besar negara dunia lainnya. Sebagian besar mungkin sama sekali tidak punya gagasan tentang pembunuhan 1965, Tanjung Priok, Talangsari, atau Munir dan jelas merupakan peluang bagi mereka untuk memperkenalkan masalah-masalah hak asasi manusia tersebut.
Kembali ke pertanyaannya, apakah kita tetap bisa mengandalkan media konvensional untuk tujuan itu? Mungkin ya, namun jelas media sosial lebih efektif bagi kaum muda di Indonesia.
Berdasarkan data Statista, di Indonesia terdapat sekitar 80 juta pengguna Facebook dan 30 juta pengguna Twiter, yang masih akan terus bertambah. Juga masih akan tumbuh pengguna media sosial lain, seperti Snapchat, We Chat, Instagram, Path, atau Periscope. Dan banyak bukti-bukti bahwa kaum muda menggunakan media sosial dengan amat efektif untuk memberi tekanan kepada pemerintah dan DPR Indonesia.
Peluang lainnya adalah dengan semakin banyaknya yang merujuk G30S/PKI sebagai kekejaman 1965, pembunuhan massal 1965, pelanggaran HAM 1965, atau sekedar G30S tanpa garis miring PKI. Kematian 500.000 hingga dua juta orang pada masa 1965-1966 ternyata bisa dilepaskan dari elemen politik untuk dimasukkan ke dalam isu hak asasi. Bagi kaum muda Indonesia -yang dengan kebebasannya bisa dengan mudah masuk ke dalam masyarakat modern global, antara lain dengan nilai kemanusian universalnya- maka demokrasi, keterbukaan, hak asasi, akuntabilitas sudah menjadi konsep yang mereka kenal dengan baik.
Jadi masih perlukah media konvensional untuk mengangkat masalah hak asasi di Indonesia?
***
*. Ditulis ulang dari Do the 1965 mass killing need conventional media? yang disampaikan dalam diskusi Remembering The Forgotten, yang digelar Amnesty International dan Tapol di London, Rabu 23 September untuk mengenang 50 tahun kekejaman 1965.